KETIK, MALANG – Dewi Ariyanti Soffi menjadi salah satu anak muda yang mencoba membongkar stigma masyarakat tentang Gen-Z yang dianggap lemah.
Dewi berhasil menembus dunia akademik sebagai Dosen Mata Kuliah Umum, yakni Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Brawijaya (UB) pada tahun 2023 saat usianya masih 23 tahun.
Perempuan kelahiran Lumajang, 5 Maret 2000 ini sempat mengikuti program fast track di UB. Untuk pendidikan S-1, Dewi mengambil Prodi Antropologi pada 2017, dan saat masih semester 7, ia diterima pada Magister di Sosiologi.
"S-2 lulus tahun 2022 tapi enggak langsung menjadi dosen karena awalnya kerja di CPDS, di bidang riset dan jadi guru riset juga di MAN 2 Kota Malang. Dari situ ada pegangan bahwa mengajar itu harus punya ketelatenan, kesabaran, dan terstruktur," ujarnya, Sabtu 7 Desember 2024.
Saat ada pembukaan pendaftaran dosen di UB, Dewi meminta pertimbangan dari orang tuanya. Saat mendapatkan restu, Dewi akhirnya mengikuti serangkaian seleksi dan berhasil mengalahkan ratusan pesaingnya.
"Awalnya merasa bukan bidangnya, tapi saat masuk ternyata masih nyambung dengan keilmuan dengan yang dipelajari di kuliah khususnya filsafat. Akhirnya berhasil jadi dosen di usia 23 tahun dan tertantang karena harus beradaptasi," lanjutnya.
Dewi saat bersama para mahasiswanya. (Foto: Dewi Ariyanti Soffi)
Bukan tanpa kendala, Dewi tak jarang menjumpai gurauan yang menyudutkan dirinya sebab menjadi dosen di usia yang cukup muda. Namun, Dewi memiliki mekanisme pertahanan diri yang kuat sehingga tidak mudah terdistraksi dengan omongan tersebut.
"Meskipun masih muda kita harus bisa berkompetisi dengan mereka yang sudah berumur. Bukan berarti yang masih muda dianggap remeh. Apalagi Gen-Z sekarang kan over stigma, dianggap generasi, lemah, pengen instan," tegasnya.
Menurutnya, menjadi dosen dengan usia muda memudahkannya untuk bersosialisasi dan semakin dekat dengan mahasiswa. Bahkan, Dewi tak hanya menjadi seorang pengajar bagi para mahasiswa, namun menjadi motivasi untuk meraih kesuksesan di masa muda.
Kedekatannya dengan mahasiswa juga membuatnya memahami cara mengajar yang efektif tanpa terpaku pada teori. Dewi sering mengaitkan teori dengan tren-tren saat ini, mulai dari film maupun isu yang tengah ramai diperbincangkan mahasiswa.
"Aku juga banyak beradaptasi apalagi saat awal mengajar suka deg-degan dan tremor hingga ngomongnya cepat. Sempat diprotes mahasiswa akhirnya harus belajar lagi, terlebih mereka sekarang tingkat kekritisannya tinggi," jelas perempuan yang tergabung sebagai Duta Damai itu.
Dewi mengaku masih memiliki sejumlah cita-cita yang ingin ia raih. Di antaranya menjadi dosen tetap sesuai bidang keilmuannya, hingga lanjut studi S-3 dan menjadi Guru Besar. Untuk meraih impian tersebut, ia yakin bahwa konsisten menjadi kunci utama.
"Tidak apa-apa capek, tapi tetap harus kembali lagi dan bertanggung jawab dengan yang sudah diperbuat. Juga tidak terdistraksi dengan omongan orang karena kita hidup di dunia gak cuma sendirian, harus tahu kemampuan dan batas diri," tutupnya. (*)