Anomali Pilkada Sumsel, Masih Banyak Amplop Beredar di Masyarakat

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Millah Irodah

6 Desember 2024 21:41 6 Des 2024 21:41

Thumbnail Anomali Pilkada Sumsel, Masih Banyak Amplop Beredar di Masyarakat Watermark Ketik
Dalam diskusi bertema "Hegemoni Herman Deru, Anomali Mawardi Yahya, dan Sensasi Eddy Santana di Pilgub Sumsel 2024" yang digelar Relung Forum di Kawan Ngopi Cafe, Jumat malam, 6 Desember 2024, para pemateri menyoroti anomali politik uang yang masih masif dilakukan para paslon Pilkada 2024. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

KETIK, PALEMBANG – Persoalan mengenai politik uang meroket usai banyaknya temuan amplop di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Selatan (Sumsel) 2024.

Dalam diskusi bertema "Hegemoni Herman Deru, Anomali Mawardi Yahya, dan Sensasi Eddy Santana di Pilgub Sumsel 2024" yang digelar Relung Forum, para pemateri menyoroti masalah politik uang yang terjadi saat menjelang hari pemilihan.

Pengamat politik Sumsel, Ade Indra Chaniago menyebutkan bahwa peredaran amplop menjelang hari pemilihan sangat masif. Hal itu berkaitan dengan perubahan angka survei Pilkada Sumsel yang berbeda drastis dengan hasil quick count.

Di kepalanya, dia mengira, paling tidak ada sekitar 3,3 juta amplop yang beredar di masyarakat.

"Saya kaget ketika kemenangan pasangan calon (paslon) 01 itu 73 persen di quick count. Di kepala saya hari itu saya langsung berpikir, paling tidak ada sekitar 3,3 juta amplop yang beredar, sebab di media sosial juga bertaburan itu," ungkapnya di Kawan Ngopi Cafe, Jumat malam, 6 Desember 2024.

Angka tersebut bukan tanpa alasan. Kata Ade, hal itu berkaitan dengan peristiwa penggerebekan gudang logistik partai yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel beberapa waktu yang lalu.

"Katanya untuk ulang tahun partai, tapi kok di setiap kantong logistik itu ada logo dan nama paslon. Habis digerebek itu Bawaslu juga adem-adem saja," kata dia.

Masifnya praktik politik uang ini, menurut Ade, juga disebabkan karakter masyarakat yang tidak mau tahu dengan kondisi yang terjadi saat Pilkada.

Dia melanjutkan, kebanyakan masyarakat juga berpura-pura tidak tahu, sehingga praktik ini sulit untuk dihentikan. Hal itu menyebabkan penyebaran amplop-amplop paslon jadi sangat mudah.

"Jadinya begini, Herman Deru sukses dengan demokrasi terima kasih. Dia kasih uangnya, kita masyarakat kasih suaranya," tutur dia.

Senada dengan itu, praktisi hukum di Sumsel, Mualimin Pardi Dahlan menjelaskan, masyarakat belum begitu memahami bahwa persoalan politik uang adalah persoalan hukum.

Malah menurut Pardi, masyarakat justru berlomba-lomba membandingkan isi amplop yang tersebar menjelang hari pemilihan.

"Masyarakat tidak memahami bahwa itu adalah persoalan hukum. Mungkin bagi masyarakat, ini adalah ajang berlomba-lomba, membandingkan ini isinya berapa, di sana Rp50 ribu, di sini Rp100 ribu," ujarnya.

Dalam hal ini, Pardi menilai bahwa peran Bawaslu sangat krusial. Sebab, fakta-fakta yang terjadi di lapangan sangat luar biasa, apalagi sampai 3,3 juta amplop yang beredar.

Jika Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa tegas, maka hal ini adalah sengketa politik yang masuk dalam kategori terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

"Padahal fakta-fakta yang terjadi di lapangan sangat luar biasa, ada 3,3 juta amplop itu harusnya masuk TSM, konsekuensinya diskualifikasi," lanjut Pardi.

Dia kemudian menganggap bahwa kemenangan Herman Deru-Cik Uanng adalah kemenangan prosedural, yang berarti dia berhasil memobilisasikan suara agar berpihak kepadanya.

Namun, prosedural tersebut tidak mewakili visi misi dan mimpi besar masyarakat Sumsel.

"Herman Deru boleh klaim ini kemenangan Sumsel, tapi inilah yang disebut prosedural dari apa yang disebar, bukan visi misi dan mimpi besar masyarakat Sumsel," pungkas dia.

Sementara itu, pengamat politik Sumsel, Bagindo Togar mengatakan, dalam Pilkada ini, praktik politik primitif masih berlaku sampai sekarang.

Praktik politik primitif yang dimaksud Bagindo adalah praktik barter yang terjadi antara paslon dengan pemilih. Suara masyarakat ditukar dengan sejumlah uang untuk mendapat kemenangan.

"Kita barter suara dengan amplop atau bansos. Itu primitif. Artinya kita gagal membangun ekosistem politik yang modern dengan gagasan dan ide yang luar biasa," tuturnya.

Dia juga mengatakan, dengan praktik politik uang yang begitu masif, maka masyarakat tidak bisa berharap banyak untuk merasakan perubahan yang lebih baik.

"Jangan berharap dengan kemenangan sekarang bakal ada perubahan besar pada lima tahun ke depan. Kita bisa saksikan bagaimana prosesnya," tutupnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Politik Uang praktik pilkada Sumsel diskusi Amplop pelanggaran Bawaslu